Secara tak terduga
Pangeran yang
menjadi putra
marikota jatuh sakit.
Sudah banyak tabib
yang didatangkan
untuk memeriksa
dan mengobati tapi
tak seorang pun
mampu
menyembuhkannya.
Akhirnya Raja
mengadakan
sayembara.
Sayembara boleh
diikuti oleh rakyat
dari semua lapisan.
Tidak terkecuali oleh
para penduduk
negeri tetangga.
Sayembara yang
menyediakan hadiah
menggiurkan itu
dalam waktu
beberapa hari
berhasil menyerap
ratusan peserta.
Namun tak satu pun
dari mereka berhasil
mengobati penyakit
sang pangeran.
Akhirnya sebagai
sahabat dekat Abu
Nawas, menawarkan
jasa baik untuk
menolong sang putra
mahkota.
Baginda Harun Al
Rasyid menerima
usul itu dengan
penuh harap. Abu
Nawas sadar bahwa
dirinya bukan tabib.
Dari itu ia tidak
membawa peralatan
apa-apa. Para tabib
yang ada di istana
tercengang melihat
Abu Nawas yang
datang tanpa
peralatan yang
mungkin diperlukan.
Mereka berpikir
mungkinkah orang
macam
Abu Nawas ini bisa
mengobati penyakit
sang pangeran?
Sedangkan para
tabib terkenal
dengan peralatan
yang lengkap saja
tidak sanggup.
Bahkan penyakitnya
tidak terlacak. Abu
Nawas merasa
bahwa seluruh
perhatian tertuju
padanya. Namun Abu
Nawas tidak begitu
memperdulikannya.
Abu Nawas
dipersilahkan
memasuki kamar
pangeran yang
sedang terbaring. la
menghampiri sang
pangeran dan duduk
di sisinya.
Setelah Abu Nawas
dan sang pangeran
saling pandang
beberapa saat, Abu
Nawas berkata,
“Saya membutuhkan
seorang tua yang di
masa mudanya
sering mengembara
ke pelosok negeri.”
Orang tua yang
diinginkan Abu
Nawas didatangkan.
“Sebutkan satu
persatu nama-nama
desa di daerah
selatan.” perintah
Abu Nawas kepada
orang tua itu.
Ketika orang tua itu
menyebutkan nama-
nama desa bagian
selatan, Abu Nawas
menempelkan
telinganya ke dada
sang pangeran.
Kemudian Abu Nawas
memerintahkan agar
menyebutkan bagian
utara, barat dan
timur. Setelah semua
bagian negeri
disebutkan, Abu
Nawas mohon agar
diizinkan
mengunjungi sebuah
desa di sebelah
utara. Raja merasa
heran.
“Engkau kuundang
ke sini bukan untuk
bertamasya.”
“Hamba tidak
bermaksud berlibur
Yang Mulia.” kata
Abu Nawas.
“Tetapi aku belum
paham.” kata Raja.
“Maafkan hamba,
Paduka Yang Mulia.
Kurang bijaksana
rasanya bila hamba
jelaskan sekarang.”
kata Abu Nawas. Abu
Nawas pergi selama
dua hari.
Sekembali dari desa
itu Abu Nawas
menemui sang
pangeran dan
membisikkan
sesuatu kemudian
menempelkan
telinganya ke dada
sang pangeran. Lalu
Abu Nawas
menghadap Raja.
“Apakah Yang Mulia
masih menginginkan
sang pangeran tetap
hidup?” tanya Abu
Nawas.
“Apa maksudmu?”
Raja balas bertanya.
“Sang pangeran
sedang jatuh cinta
pada seorang gadis
desa di sebelah
utara negeri ini.”
kata Abu Nawas
menjelaskan.
“Bagaimana kau
tahu?”
“Ketika nama-nama
desa di seluruh
negeri disebutkan
tiba-tiba degup
jantungnya
bertambah keras
ketika
mendengarkan nama
sebuah desa di
bagian utara negeri
ini. Dan sang
pangeran tidak
berani
mengutarakannya
kepada Baginda.”
“Lalu apa yang
harus aku
lakukan?” tanya
Raja.
“Mengawinkan
pangeran dengan
gadis desa itu.”
“Kalau tidak?” tawar
Raja ragu-ragu.
“Cinta itu buta. Bila
kita tidak berusaha
mengobati
kebutaannya, maka
ia akan mati.”
Rupanya saran Abu
Nawas tidak bisa
ditolak. Sang
pangeran adalah
putra satu-satunya
yang merupakan
pewaris tunggal
kerajaan.
Abu Nawas benar.
Begitu mendengar
persetujuan sang
Raja, sang pangeran
berangsur-angsur
pulih. Sebagai tanda
terima kasih Raja
memberi Abu Nawas
sebuah cincin
permata yang amat
indah.