Sultan Harun Al-
Rasyid masygul
berat, konon,
penyebabnya sudah
tujuh bulan Abu
Nawas tidak
menghadap ke
Istana. Akibatnya,
suasana Balairung
jadi lengang, sunyi
senyap. Sejak
dilarang datang ke
Istana, Abu Nawas
memang benar-
benar tidak pernah
muncul di Istana.
“Mungkin Abu Nawas
marah kepadaku,”
pikir Sultan, maka
diutuslah seorang
punggawa ke rumah
Abu Nawas.
“Tolong sampaikan
kepada Sultan, aku
sakit hendak
bersalin,” jawab Abu
Nawas kepada
punggawa yang
datang ke rumah
Abu Nawas
menyampaikan
pesan Sultan. “Aku
sedang menunggu
dukun beranak
untuk mengelurkan
bayiku ini,” kata Abu
Nawas lagi sambil
mengelus-elus
perutnya yang
buncit.
“Ajaib benar,” kata
Baginda dalam hati,
setelah mendengar
laporan punggawa
setianya. “Baru hari
ini aku mendengar
kabar seorang lelaki
bisa hamil dan
sekarang hendak
bersalin. Dulu mana
ada lelaki
melahirkan. Aneh,
maka timbul
keinginan Sultan
untuk menengok Abu
Nawas. Maka
berangkatlah dia
diiringi sejumlah
mentri dan para
punggawa ke rumah
Abu Nawas.
Begitu melihat Sultan
datang, Abu Nawas
pun berlari-lari
menyamabut danm
menyembah kakinya,
seraya berkata, “Ya
tuanku Syah Alam,
berkenan juga
rupanya tuanku
datang ke rumah
hamba yang hina
dina ini.”
Sultan dipersilahkan
duduk di tempat
yang paling
terhormat,
sementara Abu
Nawas duduk bersila
di bawahnya. “Ya
tuanku Syah Alam,
apakah kehendak
duli Syah Alam
datang ke rumah
hamba ini? Rasanya
bertahta selama
bertahun-tahun
baru kali ini tuanku
datang ke rumah
hamba,” tanya Abu
Nawas.
“Aku kemari karena
ingin tahu
keadaanmu,” jawab
Sultan, “Engkau
dikabarkan sakit
hendak melahirkan
dan sedang
menunggu dukun
beranak, sejak
zaman nenek
moyangku hingga
sekarang, aku belum
pernah mendengar
ada seorang lelaki
mengandung dan
melahirkan, itu
sebabnya aku
datang kemari.”
Abu Nawas tidak
menjawab, ia hanya
tersenyum.
“Coba jelaskan
perkatanmu. Siapa
lelaki yang hamil dan
siapa dukun
beranaknya,” tanya
Sultan lagi.
Maka dengan
senang hati
berceritalah Abu
Nawas. “Knon, ada
seorang raja
mengusir seorang
pembesar istana.
Tetapi setelah lima
bulan berlalu, tanpa
alasan yang jelas,
sang Raja memanggil
kembali pembear
tersebut ke Istana,
ini ibarat hubungan
laki-laki dan
perempuan yang
kemudian hamil
tanpa menikah.
Tentu saja itu
melanggar adat dan
agama,
menggegerkan
seluruh negeri.
Lagi pula apabila
seorang
mengeluarkan titah,
tidak boleh mencabut
perintahnya lagi,
jika itu dilakukan,
ibarat menjilat air
ludah sendiri, itulah
tanda-tanda
pengecut. Oleh
akrena itu harus
berpikir masak-
masak sebelum
bertindak. Itulah
tamsil seorang lelaki
yang hendak
bersalin, adapun
dukun beranak yang
ditumggu, adalah
baginda kemari,”
baginda kemari kata
Abu Nawas, adapun
beranak yang
ditunggu kedatangan
Baginda kemari,
“kata Abu Nawas.”
Dengan kedatangan
baginda kemari,
berarti hamba sudah
melahirkan, yang
dimaksud dengan
bersalin adalah
hilangnya rasa sakit
atau takut hamba
kepada Baginda.”
“Bukan begitu, kata
Sultan. “Ketika aku
melarang kamu
datang lagi ke
istana, itu tidak
sungguh-sungguh,
melainkan hanya
bergurau. Besok
datanglah engkau ke
istana, aku ingin
bicara denganmu.
Memang di sana
banyak mentri,
tetapi tidak seperti
kamu. lagipula
selama engkau tidak
hadir di istana,
selama itu pula
hilanglah cahaya
Balairungku”.
“Segala titah
baginda, patik
junjung tinggi
tuanku,” sembah
Abu Nawas dengan
takdzim. Tetapi
Sutan cuma geleng-
geleng kepala. Dan
tidak seberapa lama
kemudian Sultan pun
kembali ke Istana
dengan perasaan
heran bercampur
geli….
Air Susu yang
Pemalu
Suatu hari Sultan
Harun Al-Rasyid
berjalan-jalan di
pasar. Tiba-tiba ia
memergoki Abu
Nawas tengah
memegang botol
berisi anggur. Sultan
pun menegur san
Penyair, “Wahai Abu
Nawas, apa yang
tengah kau pegang
itu?”
Dengan gugup Abu
Nawas menjawab,
“Ini susu Baginda.”
“Bagaimana mungkin
air susu ini
berwarna merah,
biasanya susu kan
berwarna putih
bersih,” kata Sultan
keheranan sambil
mengambil botol
yang di pegang Abu
Nawas.
“Betul Baginda,
semula air susu ini
berwarna putih
bersih, saat melihat
Baginda yang gagah
rupawan, ia tersipu-
sipu malu, dan
merona merah.”
Mendengar jawaban
Abu Nawas, baginda
pun tertawa dan
meninggalkannya
sambil geleng-
geleng kepala.