“Panggil Abu Nawas
kemari hari ini
juga,“ titah Sultan
Harun Al-Rasyid
kepada seorang
hambanya.
“Tuan Abu Nawas
…” kata si hamba
raja sesampai di
rumah Abu Nawas,
“Tuan Hamba
dipersilahkan
Baginda datang ke
istana hari ini juga.”
Hanya berjarak
setengah jam
setelah hamba
sahaya tadi sampai
di istana, Abu Nawas
pun tiba di sana.
“Hai Abu Nawas …”
kata Sultan,
“Tahukah kamu
mengapa kamu aku
panggil kemari? Aku
minta tolong
kepadamu untuk
mengajari lembuku
supaya bisa mengaji
Al-Qur’an. Jika
lembu itu tidak dapat
mengaji, niscaya aku
akan menyuruh
mereka membunuh
kamu.”
“Baiklah Tuanku
Syah Alam,” jawab
Abu Nawas, “Titah
tuanku patik junjung
di atas kepala
patik.” Kemudian Abu
Nawas di suruh
pulang dengan
menghela seekor
lembu. Sesampai
dirumah lembu itu
diikat erat-erat
pada sebatang
pohon kurma.
Esok harinya Abu
Nawas mulai
memukul lembu itu
dengan sebuah
cambuk rotan sampai
setengah mati.
Ketika binatang itu
hampir mengamuk,
Abu Nawas
mengucapkan kata
“atau”, “atau”,
“atau”. Perkataan
itulah yang
diajarkan Abu
Nawas kepada lembu
itu sambil tetap
mengayunkan
cambukannya tanpa
henti. Pekerjaan itu
ia lakukan setiap
hari pagi sampai
tengah hari dan dari
dhuhur sampai
maghrib selama
beberapa hari
sehingga tidak
terpikirkan untuk
menghadap ke
istana.
Setengah bulan
kemudian baginda
menyuruh seorang
hamba melihat ke
rumah Abu Nawas,
apakah dia mampu
mengajari lembu itu
mengaji atau tidak.
Apa yang disaksikan
oleh hamba sahaya
tadi di rumah Abu
Nawas, tiada lain
cambukan yang
dilancarkan oleh
Abu Nawas ke
badan lembu itu
sambil berkata
”atau, “atau, “atau”
sampai binatang itu
kesakitan setengah
mati. Maka
dilaporkanlah hal itu
kepada Baginda
Sultan.
“Mohon ampun
baginda,” kata
hamba sahaya itu
sesampai di Istana,
“Patik lihat Abu
Nawas sedang
mengajar lembu itu
di belakang rumah
dengan sebuah
cambuk rotan yang
besar. Jika tali
pengikatnya tidak
kuat pastilah lembu
itu lepas dan
mengamuk, yang
diajarkan tidak lain
hanyalah tiga patah
kata , yaitu “atau”,
“atau”, “atau”.
Baginda terheran-
heran mendengar
laporan itu, setelah
berpikir sejenak
baginda bertitah,
“Panggil kemari Abu
Nawas sekarang
juga, aku mau tahu
apakah lembu itu
sudah bisa mengaji
atau belum.”
Tidak lama kemudian
Abu Nawas pun
sampai di Istana, ia
pun datang
menyembah.
“Hai Abu Nawas,
sudahkah engkau
mengajari lembuku
itu dan apakah
lembu itu sudah bisa
mengaji Al-Qur’an?”
tanya Baginda
Sultan.
Sudah bisa sedikit-
sedikit, Ya Tuanku
Syah Alam,” jawab
Abu Nawas.
“Tadi aku suruh
seorang hamba
melihat ke rumahmu,
katanya engkau
mengajari lembu itu
kalimat “atau”,
“atau”, “atau”. Aku
mau tahu apa
artinya perkataan
itu?”
“Ampun ke Duli
Syah Alam,”
kata Abu
Nawas. Arti
“atau”,
“atau”, “atau”
itu adalah jika
bukan lembu
yang mati,
atau hamba,
atau tuanku,
atau tidak ada
salah seorang
yang mati,
hamba tidak
akan puas.
Sebab sampai
habis umurnya
sekalipun,
binatang itu
tidak akan
bisa mengaji
Al-Qur’an. Itu
sebabnya
binatang itu
hamba cambuk
agar mati.
Dengan
demikian
hamba senang
karena
pekerjaan
hamba dapat
selesai. Atau
hamba yang
mati, atau
Paduka yang
mati, atau
salah satu,
barulah habis
perkara lembu
itu.”
Baginda terperanjat
di tempat duduknya,
tidak dapat berkata
sepatah katapun.
Setelah tercenung
sejenak, baginda
berkata. “Kalau
begitu lembu itu
boleh kamu ambil,
atau kamu jual, atau
kamu buat sate.”
“Terima kasih
banyak-banyak, ya
Tuanku Baginda
Syah Alam,” kata
Abu Nawas sambil
menyembah hingga
kepalanya
menyentuh tanah. Ia
pun mohon diri
pulang ke rumah
dengan langkah
ringan dan hati
senang.