Nabi Ibrahim beserta
isterinya Sarah dan
khadamnya Hajar serta
semua binatang ternak
dan harta kekayaannya
sudah pindah ke Palestin,
hidup di tengah tengah
keluarganya dan pengikut
pengikutnya yang tak
begitu banyak jumlahnya.
Alangkah sedih dan
pilunya perasaan Sarah,
karena dia sendiri belum
juga beroleh seorang anak
pun, sedang umurnya
sudah lanjut, dan boleh
dikatakan termasuk orang
yang tua, sehingga pada
umurnya orang yang
setua dia itu tidak
mungkin beroleh anak.
Maka dengan ikhlas hati,
Sarah menganjurkan
kepada suaminya, Nabi
Ibrahim untuk kahwin
dengan khadamnya
sendiri bernama Hajar.
Hajar sendiri adalah
seorang perempuan yang
mulia, baik budi
pekertinya serta lurus, tak
pernah berhati bengkok.
Mudah mudahan,
demikianlah harapan
Sarah, dari
perkahwinannya dengan
khadam itu, Nabi Ibrahim
beroleh anak, untuk
perintang hidup kedua
suami isteri yang sudah
tua, untuk menurunkan
dia menjalankan perintah
Ilahi dan sebagainya.
Anjuran isterinya ini
diterima oleh Nabi
Ibrahim. Lalu terjadilah
perkahwinan itu dengan
baiknya. Dari perkahwinan
inilah Nabi Ibrahim
beroleh seorang anak
lelaki yang paling bersih
dan suci, yang diberi
nama Ismail (Nabi Ismail).
Selain Ibrahim sendiri,
bukan main pula girang
dan senang hati Sarah
beroleh anak itu.
Tetapi kegembiraan Sarah
ini hanya sebentar waktu
saja, sebab tak lama
kemudian hatinya mulai
diserang oleh suatu
perasaan yang tidak dapat
dibayangkan. Karena
adanya perasaan inilah,
hatinya tidak kunjung
tenang, selalu gelisah saja,
makan dan minum tidak
keruan sama sekali.
Akhirnya dia tidak tahan
untuk memandang wajah
Hajar dan anaknya itu.
Hal ini diterangkannya
berterus terang kepada
Ibrahim dan mengusulkan
agar Ibrahim, Hajar
bersama anaknya
meninggalkan dia seorang
diri, pergi ke tempat yang
sejauh jauhnya, agar tidak
terlihat dan terdengar
sedikit juga tentang Hajar
dan Ismail itu. Dengan
wahyu Ilahi, Nabi Ibrahim
menerima usul tersebut.
Mulailah Nabi Ibrahim
dengan isterinya yang
baru beserta anaknya
mengadakan
pengembaraan yang jauh
lagi. Entah ke mana
tempat tujuan, tidaklah
diketahui, hanya menurut
ke mana saja ditakdirkan
Tuhan. Lama sudah
mereka berjalan, dan jauh
sudah jalan yang
ditempuh. Akhirnya
mereka berhenti di suatu
tempat. Di tempat itu
Hajar dan anaknya
ditinggalkan oleh Ibrahim
tanpa perbekalan yang
banyak. Sedang Nabi
Ibrahim sendiri mahu
meneruskan
perjalanannya dan
mendoakan kepada Allah,
mudah mudahan Allah
menjaga isteri dan
anaknya itu dari segala
petaka dan bahaya.
Baru saja Ibrahim
berangkat meninggalkan
Hajar dan Ismail, Hajar
segera mengikutinya dari
belakang dan memegang
tali kekang unta yang
dikenderai Nabi Ibrahim
seraya berkata: Ya,
Ibrahim! Ke manakah
engkau pergi, kenapa
kami ditinggalkan di sini,
di tempat yang
menakutkan ini?
Hajar berharap agar
Ibrahim menaruh rasa
belas kasihan terhadap
dirinya dan diri anaknya
yang masih kecil itu,
minta pertanggungan
jawab kepada Ibrahim,
siapa yang akan
mempertahankan
hidupnya dari bahaya
kelaparan dan dahaga,
yang
mempertahankannya dari
serangan binatang
binatang buas, dari terik
panas matahari yang
begitu panas, dari udara
dingin yang berhembus di
malam hari. Semua ini
dikemukakannya kepada
Ibrahim dengan kata kata
yang lemah lembut serta
airmata yang bercucuran.Tetapi Ibrahim tampaknya
tidak menghiraukan
semua keluhan isterinya
itu, malah diterangkannya
kepada Hajar, bahawa ini
adalah perintah Allah, dan
mengisyaratkan agar dia
sabar menerima takdir
atas setiap perintah dari
Allah, supaya dia tunduk
dan patuh menurutkan
semua perintah itu.
Mendengar jawapan
Ibrahim itu, Hajar hanya
menjawab: Sekarang saya
mengerti, dan Allah tidak
akan mensia siakan kami.
Ibrahim pergi sendirian di
tengah tengah padang
pasir yang berbahaya itu,
mendaki gunung
berjurang, melintasi
beribu satu kesukaran,
dengan meninggalkan
isteri dan anak yang
menjadi rangkaian hati
dan jantungnya sendiri.
Hanya karena perintah
Allah, dan tidak
membawa perbekalan
suatu apa selain
kepercayaan dan ketaatan
kepada Allah itu saja.
Sebagai seorang Nabi,
Ibrahim menahankan
semua penderitaan badan
dan batin itu dengan
penuh kesabaran dan
ketenangan, menyerah
kepada perintah dan takdir
Ilahi, Nabi Ibrahim terus
berjalan, meninggalkan
isteri dan anaknya yang
tunggal di tengah padang
pasir yang tak bermakhluk
manusia itu.
Hanya doa inilah yang
keluar dari mulutnya, di
hadapkannya ke hadrat
Allah Yang Maha Kuasa: Ya
Tuhan kami, aku telah
tinggalkan anak dan
isteriku di padang pasir
yang tandus tiada
pepohon dan buah
buahan. Ya Tuhan kami,
agar mereka mendirikan
sembahyang maka
jadikanlah hati manusia
tertarik kepada mereka,
dan berilah mereka rezeki
dari buah buahan, mudah
mudahan mereka
berterima kasih atas
semua itu.