Tinggallah Musa di rumah
orang tua itu dengan
perasaan yang lega dan
tenang. Begitu pula bagi
orang tua serta anak-
anak-nya itu. Cahaya
keimanan sama sama
berkilauan di hati Musa
dan orang tua itu,
demikian pula perasaan
keikhlasan dan ramah
tamah. Pergaulan mereka
semakin rapat dan
mendalam juga.
Kemudian sifat dan tabiat
pemuda Musa
berpengaruh besar ke hati
orang tua itu dan terhadap
anak anaknya pula,
sehingga kedudukan Musa
dalam pergaulan rumah
tangga itu semakin tinggi
dan mulia. Terlebih
berpengaruh lagi terhadap
kalbu anak
perempuannya. Sifat yang
ramah tamah, kekuatan
badan dan kesucian
hatinya, semakin
mendalam masuk dalam
rasa hormat dari anak
perempuan itu. Perasaan
hormatnya ini
disampaikannya kepada
bapanya dengan berkata:
Ya bapaku, pekerjakanlah
anak muda itu pada kita,
karena bukankah sebaik
baik orang yang akan
dipekerjakan itu, ialah
orang yang kuat dan
berhati tulus ikhlas? Dan
bukankah anak muda itu
telah banyak menolong
kita, serta dapat
mengangkat tutup sumur
yang begitu berat seorang
diri? Bukankah dia berhati
bersih dan suci sekali,
sehingga ketika kita
mengundang-nya, dia
hanya menganggukkan
kepalanya? Begitu pula
ketika kami berjalan
berdua, dia berjalan di
muka untuk menjaga
kehormatan perempuan
yang mengiringkannya.
Tiap patah kata yang
keluar dari mulut anak
perempuannya itu,
didengarkan oleh orang
tua itu seolah olah acuh
tak acuh, tetapi
sebenarnya
diperhatikannya dengan
sungguh sungguh, kerana
perasaan yang demikian
itu lebih dahulu sudah
tumbuh serta berurat
dalam kalbunya sendiri,
sebelum anaknya berkata.
Kini dia mengerti sedalam-
dalamnya, mengapa
anaknya berkata demikian,
memecahkan
pendiamnya selama ini?
Pada suatu pagi, di kala
sang surya mulai
bersinar, udara penuh
dengan cuaca terang dan
angin sepoi sepoi,
duduklah orang tua itu
seorang diri di tempat
yang sudah disediakan.
Musa dipanggilnya, lalu
berkata: Hai Musa, saya
mempunyai cita cita akan
mengahwinkan engkau
dengan salah seorang
anakku, dengan harapan
engkau dapat menjadi
teman hidupnya serta
dapat menolongku.
Bekerjalah engkau di sini
mengembala kambing
lapan tahun lamanya,
sebagai maskawin bagi
perkahwinanmu. Tetapi
kalau engkau suka
menambah, tambahlah
dua tahun lagi, jadi
sepuluh tahun lamanya,
itupun terserah kepada
kesanggupanmu, saya
sendiri tidak akan
memberatkan dirimu dan
engkau akan mengetahui
nanti, bahawa aku adalah
orang baik baik, insya
Allah.
Mendengar perkataan
orang tua itu,
terbentanglah di
hadapannya jalan ke arah
bahagia yang dicita-
citakannya selama ini
terasa dalam hatinya,
bahawa doanya kepada
Tuhan ketika dia
termenung melepaskan
lelahnya tempohari itu,
telah dikabulkan Tuhan.
Dengan tak terasa,
lidahnya bergerak
menjawab perkataan
Syuaib, bakal mertuanya
itu: Saya terima segala
anjuran bapak. Perjanjian
antara saya dengan bapa,
apabila saya turut yang
manapun salah satu
antara kedua perjanjian itu
(8 tahun atau 10 tahun),
kiranya saya tidak
bersalah. Allah menjadi
saksi atas perjanjian kita
ini.
Dengan perkahwinan ini,
Musa hidup bahagia sekali
dalam perasaannya,
karena mendapat isteri
yang cantik serta mertua
yang baik. Keadaan
rumahtangganya cukup
dan pekerjaannya pun
baik. Dia bekerja dengan
sebaik-baiknya dalam
mengurus urusan orang
tua itu, untuk memenuhi
janji yang telah ditetapkan.
Menjelang sampai di batas
waktu yang
telah .ditetapkan,
keinginan Musa untuk
kembali ke tanah airnya
mulai timbul, sekalipun dia
berbahagia dan senang di
negeri orang; namun
ingatan ke kampung
halaman sendiri pasti
timbul jua. Pernah disebut
orang dalam pepatah:
Setinggi tinggi terbang
bangau akhirnya kembali
ke belakang kerbau
hinggapnya.
Waktu yang ditetapkan
dalam perjanjian itupun
sampailah. Dia bebas
sekarang untuk memilih,
akan menetap di situ atau
pulang kembali ke
negerinya. Niatnya untuk
kembali ke kampungnya
bersama isterinya sudah
tetap dan tidak dapat
digagalkan lagi.
Dia mulai bersiap siap
menyediakan bekal dan
membungkusi harta
bendanya, untuk segera
berangkat ke Mesir
bersama isterinya. Setelah
mengucapkan selamat
tinggal kepada mertuanya
yang sudah tua, serta
mendoakan agar yang
ditinggal selamat, begitu
pula yang pergi jangan
sampai kurang suatu apa.
Kedua suami isteri yang
bahagia itupun bertolaklah
menuju ke utara,
meninggalkan negeri
Madyan. Setelah semakin
lamanya berjalan
menempuh padang pasir
yang luas, akhirnya Musa
dan isterinya tiba di Tur
Sina (Gunung Sinai). Selain
penat dan lelah, kedua
musafir suami isteri itu
kini kehilangan jalan,
mereka merasa ragu, arah
manakah yang harus
ditempuhnya untuk
meneruskan penjalanan
ke Mesir.
Dalam keragu-raguan itu
malam pun datang, satu
malam yang sangat
bersih, dengan bintang
bintang yang gemerlapan
di langit. Bertambah
ragulah kedua musafir itu
tentang jalan yang harus
ditempuhnya. Tiba tiba,
jauh di sana, di sebelah
kanan jurang yang dalam,
Musa melihat ada api
berkelip kelip. Musa ingin
mendekati api yang
tampak itu seraya berkata
kepada isterinya:
Tinggallah engkau
sendirian di sini
sementara, saya ingin
melihat, api apa yang
tampak itu. Segera saya
akan kembali ke sini
membawa khabar, sambil
membawa api yang
tampak itu, mudah
mudahan dapat kita
jadikan diang untuk
memanaskan badan.
Musa berjalan menuju
tempat itu, melampaui
jurang yang dalam. Dia
akhirnya tiba di bawah se
batang pokok zaitun yang
rendang dekat kepada api
yang kelihatan dari jauh
tadi. Pokok inilah dalam
sejarah yang
dimasyhurkan, dengan
nama Syajar Musa. Tiba
tiba dengan terang Musa
mendengar suara: Hai
Musa, Aku inilah Allah
Tuhanmu. Maka itu
tanggalkanlah kedua
kasutmu, karena
sesungguhnya engkau
berada di lembah suci
Tuwan. Dan Aku memilih
engkau menjadi
UtusanKu, sebab itu
dengarlah baik-baik apa
apa yang akan
diwahyukan kepadamu:
Sesungguhnya Akulah
Allah, tidak ada Tuhan
selain Aku. Sebab itu
sembahlah akan Daku,
dan dirikanlah
sembahyang untuk
mengingatkan Aku.
Sesungguhnya kiamat itu
pasti datang, hampir Aku
sembunyikan rahsia, agar
tiap manusia akan dibalas
apa saja yang pernah
dilakukannya. Janganlah
engkau dapat dipalingkan
dari kepercayaan ini oleh
orang yang tidak percaya,
yang hanya
memperturutkan hawa
nafsunya, agar engkau
jangan sampai celaka
kerananya.
Inilah wahyu pertama dari
Tuhan yang diterima
Musa sebagai putusan,
bahawa dia telah diangkat
menjadi Rasul, pangkat
yang sesuai dengan
kebesaran jiwa, kesucian
hati dan kesabarannya.
Apakah yang engkau
pegang di tangan
kananmu itu, hai Musa?
bunyi suara itu
selanjutnya.
Musa mulai menjawab
akan suara wahyu itu: Ini
adalah tongkatku, tempat
saya bertekan dan pula
saya pergunakan untuk
menghalau kambing
gembalaku dan lain lain
keperluan.
Kemudian Tuhan
memerintahkan kepada
Musa untuk melemparkan
tongkat itu. Baru saja
tongkat itu dilemparkan
oleh Musa ke tanah, tiba
tiba tongkat itu menjadi
ular yang tampaknya kecil
saja, tetapi lama kelamaan
semakin besar juga,
akhirnya menjadi sangat
besar, sehingga
tampaknya dapat
berbahaya terhadap apa
dan siapa saja.
Melihat ular sebesar itu,
Nabi Musa mulai ngeri dan
takut, sehingga ia lari
sekuat kuatnya. Tuhan lalu
berfirman kepadanya:
Jangan takut wahai Musa,
sesungguhnya orang
yang telah diutus itu tidak
boleh takut takut.
Peganglah kembali pasti
dia kembali sebagai
semula menjadi
tongkatmu.
Mendengar firman Allah
itu, baru Musa sedar,
bahawa kepadanya selain
telah diberikan keterangan
dan kenyataan-kenyataan,
pula diberikan kekuatan
mukjizat yang maha
hebat, yang terletak pada
tongkatnya itu. Jiwanya
mulai tenang dan
perasaannya menjadi
lega. Insaf benar dia
sekarang, bahawa ia telah
menjadi Nabi dan Rasul
Allah. Dia mengucapkan
syukur ke hadrat Allah,
atas segala pemberian
yang sangat berharga itu.
Kembali Tuhan berfirman
kepada Musa: Kepitlah
tanganmu ke dalam
ketiakmu, ya Musa,
nescaya tanganmu itu
akan menjadi putih bersih
yang berkilat kilat, tetapi
bukan karena penyakit.
Pangkulah kedua
tanganmu itu, bila engkau
dalam ketakutan. Inilah
dua keterangan (mukjizat)
dari Tuhanmu (iaitu
tongkat menjadi ular,
tangan menjadi putih
berkilat kilat), untuk
menjadi senjata bagimu.
Sekarang berangkatlah
kamu, hadapilah Firaun
serta kaumnya para
bangsawan, sungguh
mereka itu kaum perosak.
Kedua mukjizat yang luar
biasa ini telah dapat
menetapkan hati Musa
untuk menjalankan semua
perintah yang diberikan
Tuhan terhadap manusia
dan untuk menghadapi
keingkaran Firaun serta
kaumnya, sehingga
kekerasan Firaun akan
dapat dihadapinya dengan
kekerasan pula.